Minggu, 20 Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

TEORI KOGNITIVISTIK

TEORI KOGNITIVISTIK
(RIFAI KARYAWANSAH, S.Pd.I)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan suatu materi pelajaran, tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menguasai materi yang akan disampaikan. Akan tetapi ada faktor-faktor lain yang harus dikuasainya sehingga ia mampu menyampaikan materi secara profesional dan efektif. Menurut Zakiyah Daradjat, pada dasarnya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan, dan kompetensi dalam cara-cara mengajar.
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Menurut Herman Hudoyo “Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman, pengetahuan baru, sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku. Misalnya setelah belajar siswa mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan dimana sebelumnya ia tidak dapat melakukannya”. dikutip dari pendapat Oemar Hamalik “Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.”2 Belajar memegang peranan penting didalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian dan bahkan persepsi manusia.
Banyak teori belajar yang menginspirasi dan mendasari lahirnya macam-macam strategi pembelajaran yang memuat classical interactionseperti teori behaviorisme, teori kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari diterapkannya strategi dan metode pengajaran yang ilmiah, yang mendasarkan pada pemahaman tentang teori-teori pembelajaran dan pertimbangan pendekatan belajar siswa (student learning approach). Pemahaman tentang pengajaran (teaching) juga berkembang, dari teacher centered, yang lebih menekankan pada content oriented, menjadi student centered yang lebih berorientasi pada memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (learning oriented).
Pada makalah ini penulis lebih dalam menjelaskna masalah teori kognitivisme, teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian dan karakteristik teori kognitivistik ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori kognitivistik ?
3. Bagaimana pandangan teori pembelajaran kognitivistik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran?
4. Bagimana implikasi teori pembelajaran kognitivistik dalam pembelajaran ?

C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untukmengetahui :
1. Pengertian dan karakteristik teori kognitivistik
2. Tokoh-tokoh teori pembelajaran kognitivistik
3. Pandangan terhadap belajar mengajar dan pembelajaran
4. Implikasi teori pembelajaran kognitivistik dalam pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Kognitif dan Karakteristiknya.
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.
Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.

B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif

1. Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.Menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
1. Tahap sensory – motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2. Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3. Tahap concrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
4. Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi

2. Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,iconic dan simbolic.Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek – melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2. Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3. Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4. Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5. Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.

3. Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Pengertian belajar bermakna
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.C. Pandangan Teori Kognitivisme terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.Dari beberapa teori belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan.
Sebagai misal, Teori bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor pembelajaran yang bermakna.
Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.

D. Implikasi Teori Kognitivistik dalam Pembelajaran
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel. Ketiga teori ini dijabarkan sebagai berikut:

No 1 Teori Kognitif Piaget Brunner Ausubel
Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a.Asimilasi
b.Akomodasi
c.Equilibrasi

No 2 teori kognitif Brunner
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur siswa
Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a.Enaktif (aktivitas)
b.Ekonik (visual verbal)
c.Simbolik

No.3 Teori bermakna Ausubel.
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru
Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
a.Memperhatikan stimulus yang diberikan
b.Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Prinsip kognitivisme banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Si belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks.
3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian.
Adapun kritik terhadap teori kognitivisme adalah:
1. Teori kognitif lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar mengajar tidaklah mudah.
2. Sukar dipraktekkan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap siswa.
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa implikasinya dalam pembelajaran adalah seorang pendidik, guru ataupun apa namanya mereka harus dapat memahami bagaimana cara belajar siswa yang baik, sebab mereka para siswa tidak akan dapat memahami bahasa bila mereka tidak mampu mencerna dari apa yang mereka dengar ataupun mereka tangkap.,
Dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidaklah mudah, Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi pelajaran bahasa arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa arab di buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik dari sekedar menghafal kosakata.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan
Adapun tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Kognitif adalah Jean Pieget, Jerome Bruner dan Ausubel.
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.


DAFTAR PUSTAKA


Abu Ahmadi dan Widodo Supriono. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Sadikin. (2009). Ranah Kognitif, Afektif dan Spikomotor. Jakarta: Pt. Grafisindo.
Bjorklund, D.F. (2000). Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth.
Bruno. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Kalam Mulia.
Herman Hudoyo. (2008). Metode, Teknik, dan Strategi dalam Belajar. Bandung: Tarsito.
W.S Winkel. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Zakiyah Daradjat. (1995). Metodi Khusus Pengajaran Agama Islam. akarta: Bumi Aksara.

teori behavioristik

TEORI PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK

TEORI BEHAVIORISTIK
RIFAI KARYAWANSAH, S.Pd.I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Banyak teori belajar yang menginspirasi dan mendasari lahirnya macam-macam strategi pembelajaran yang memuat classical interactionseperti teori behaviorisme, teori kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari diterapkannya strategi dan metode pengajaran yang ilmiah, yang mendasarkan pada pemahaman tentang teori-teori pembelajaran dan pertimbangan pendekatan belajar siswa (student learning approach). Pemahaman tentang pengajaran (teaching) juga berkembang, dari teacher centered, yang lebih menekankan pada content oriented, menjadi student centered yang lebih berorientasi pada memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (learning oriented).
Pada makalah ini penulis lebih dalam menjelaskna masalah teori behavioristik, teori belajar behavioristik lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian dan karakteristik teori behavioristik ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori behavioristik ?
3. Bagaimana pandangan teori pembelajaran behavioristik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran?
4. Bagimana implikasi teori pembelajaran behavioristik dalam pembelajaran ?

C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untukmengetahui :
1. Pengertian dan karakteristik teori behavioristik
2. Tokoh-tokoh teori pembelajaran behavioristik
3. Pandangan teori pembelajaran behavioristik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran
4. Implikasi teori pembelajaran behavioristik dalam pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori behavioristik dan Karakteristiknya.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku (Hasil Belajar) sebagai hasil dari pengalaman
Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik
a) Obyek psikologi adalah tingkah laku.
b) Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek.
c) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
d) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri.
e) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik harus dihindari.

Kelemahan Teori Behavioristik
a) Hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati
b) Kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri
c) Pebelajar berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif
d) Pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat
e) Kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar
Kelebihan Teori Behavioristik
Sesuai untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex.

B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Behavioristik

a) Edward LeeThorndike
Menurutnya belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan. teori ini sering disebut teori koneksionisme.
Connectionism ( S-R Bond) adalah hukum belajar yang dihasilkan oleh Thorndike yang melakukan eksperimen yang terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2) Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3) Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

b) John Watson
Kajian tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun keduanya harus dapat diamati dan diukur.

c) Clark L. Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Dorongan belajar (stimulus) dianggap sebagai sebuah kebutuhan biologis agar organisme mampu bertahan hidup.

d) Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

e) Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Respon yang diterima seseorang tidak sesederhana konsep yang dikemukakan tokoh sebelumnya, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.
Operant Conditioningadalah hukum belajar yang dihasilkan oleh B.F. Skinner yang melakukan eksperimen yang terhadap tikus menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

C. Pandangan Teori Behavioristik terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

D. Implementasii Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Implementasi teori ini dalam pembelajaran tergantung tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.Teori ini sangat sesuai untuk pengetahuan yang bersifat obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Dalam hal ini pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar
Menurut teori behaviorisme apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons) semua harus bisa diamati, diukur, dan tidak boleh hanya implisit (tersirat). Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responspun akan tetap dikuatkan.. Misalnya bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang sakunya ditambah maka penambahan uang saku ini disebut sebagai positive reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan ini membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative reinforcement.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Analisis Tentang teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Konsep evaluasi pendidikan sudah sangat jelas dalam teori ini yaitu melalui pengukuran, pengamatan. Sebab seseorang dikatakan belajar bila telah mengalami perubahan perilaku. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Semua aspek materi juga tidak bisa diukur dengan teori ini. Evaluasi dilakukan untuk menilai hasil akhir dari penggunaan teori ini yaitu perubahan perilaku


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku (Hasil Belajar) sebagai hasil dari pengalaman
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.

RUJUKAN


Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and TeacTeori Belajar Behaviori
Abu Ahmadi dan Widodo Supriono. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Sadikin. (2009). Ranah Kognitif, Afektif dan Spikomotor. Jakarta: Pt. Grafisindo.
Bjorklund, D.F. (2000). Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth.

teori konstruktivisme / konstruktivistik



TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
(constructivist theories of learning)


rifai karyawansah, nganjuk

BAB I


PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah


Menurut Zakiyah Daradjat, pada dasarnya Apembelajaran yang memuat classical interactionseperti teori behaviorisme, teori kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari diterapkannya strategi dan metode pengajaran yang ilmiah, yang mendasarkan pada pemahaman tentang teori-teori pembelajaran dan pertimbangan pendekatan belajar siswa (student learning approach). Pemahaman tentang Astudent centered yang lebih berorientasi pada memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (learning oriented).
Pada makalah ini penulis lebih dalam menjelaskna masalah teori konstruktivisme, teori belajar kontruktif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.



B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian dan karakteristik teori konstruktivistik ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori konstruktivistik ?
3. Bagaimana pandangan teori pembelajaran konstruktivistik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran?
4. Bagimana implikasi teori pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran ?



C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untukmengetahui :
1. Pengertian dan karakteristik teori konstruktivistik
2. Tokoh-tokoh teori pembelajaran konstruktivistik
3. Pandangan teori konstruktivistik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran
4. Implikasi teori pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran





BAB II
PEMBAHASAN



A. Pengertian Teori Konstruktivistik dan Karakteristiknya.



Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau ……pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
Adapun karakteristik/ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1. Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
2. Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3. Menyokong pembelajaran secara koperatif
4. Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid
5. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
6. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
7. Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Dan yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.



B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Konstruktivistik



Driver dan Bell
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.



JJ Piaget
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).



Vigotsky
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.



Tasker
Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.



Wheatley
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.



Hanbury
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya


.
C. Pandangan Teori Konstruktivistik terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran



Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut asalnya, teori konstruktivime bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khususnya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan.




Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2. Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup.
3. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
6. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta. Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi makna.Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme telah banyak mendapat pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini dapat disebut juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi kognitif, namun harus diakui bahwa stressing point teori ini bukan terletak pada berberapa konsep psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman, asimilasi, dan internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme yaitu pemaknaan realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan terhadap realitas adalah berlajar itu sendiri. Dengan asumsi seperti ini, sebetulnya substansi konstrukvisme terletak pada pengakuan akan hekekat manusia sebagai homo creator yang dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri.



D. Implikasi Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran



Teori konstruksivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atu kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus bisa diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam buku Pembelajaran Moral menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran social yang ada dalam diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap diantara sesame manusia. Konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara cepat.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan aktivitas belajar, proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru. Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
b. Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa belajar memecahkan masalah
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis Oleh Drs.Agustinus Maniyeni, M.Pd – Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman 1-15)
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
Teori ini lebih menekankan pada diri siswa dalam penyusun pengetahuan yang ingin diperoleh oleh siswa tersebut. Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna menggembangkan dirinya sendiri.Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.Konsep evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori kognitivisme yaitu menitikberatkan pada proses. Proses yang dimaksud disini merupakan sebuah pengalaman yang dialami sendiri oleh masing-masing siswa (penyusunan pengetahuan oleh siswa itu sendiri).
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif



BAB III
PENUTUP



Kesimpulan



Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru .
Teori konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang asas sebelum konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila diperlukan . (de Pai)


Senin, 07 Maret 2011

jurnal kependidikan ptk ma al huda nganjuk

JURNAL HASIL PENELITIAN TINDAKAN KELAS: PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN PADA PELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM DI MA AL HUDA NGANJUK (rifai karyawansah, nganjuk)

A. Hasil Penelitian Siklus I
a. Paparan data siklus I
Dalam proses pembelajaran siklus pertama pengenalan materi dilakukan dengan strategi belajar analisa bermain peran, kemudian dilanjutkan dengan presentasi yang materinya dikembangkan dari LKS.
Hasil penelitian menunjukkan
Siswa yang bekerja sama dengan teman : 16 siswa = 66 %
Siswa yang mengemukakan pendapat : 4 siswa = 16 %
Siswa yang senang dan semangat mengikuti pelajaran : 16 siswa = 66 %

Table I : Penilaian siklus pertama

No Nama siswa Penilaian
Kerjasama Berpendapat Senang dan Semangat
1 Agus Romadhon  ─ 
2 A. Yeyen Efendy ─ ─ ─
3 Fendi Kharisma ─ ─ ─
4 Imam Muslikin ─ ─ ─
5 Imam Rosaadi  ─ 
6 M. Agus Mukarom  ─ 
7 Joni Hermawan   
8 M. Miftakhulhadi   
9 M. Jalalludin  ─ 
10 M. Roy Herdianto ─ ─ ─
11 M. Itok Nugroho ─ ─ ─
12 Nasrul Haqi F  ─ 
13 Pendi Pradana  ─ 
14 Sigit Purwanto   
15 Afifatun Sholikah ─ ─ ─
16 Devi Ayu Kusuma  ─ 
17 Dwi Mita Sari  ─ 
18 Itbag Adelina ─ ─ ─
19 Niswatul Umaroh  ─ 
20 Nurul Inan   
21 Siti Maysaaroh  ─ 
22 Siti Samsiyah  ─ 
23 Sri Rahayu ─ ─ ─
24 Titin Sutianingsih  ─ 
Prosentase 66 % 16 % 66 %





b. Pengamatan
Kegiatan observasi pada siklus pertama jumlah siswa yang bekerja sama dengan teman lainnya adalah 66 %, siswa yang berpendapat 16 % dan siswa yang senang dan bersemangat dalam pembelajaran adalah 66%. Data hasil observasi ini menunjukkan adanya hambatan yang datang dari siswa, yaitu:
a) Sebagian besar siswa Kelas XII pada umumnya mempunyai partisipasi belajar Sejarah kebudayaan Islam masih rendah dan pasif. Pada pertemuan siklus I ini guru banyak terlibat di dalam pembelajaran. Rendahnya partisipasi belajar Sejarah kebudayaan Islam disebabkan rendahnya aktivitas belajar dan motivasi siswa.
b) Siswa dalam membuat pertanyaan masih belum berani.
c) Dalam menanggapi permasalahan, yang bisa menjawab hanya dilakukan siswa tertentu saja.
d) Siswa masih kurang memahami tentang strategi analisa bermain peran.
e) Kemandirian belajar untuk mencari pengetahuan dan belajar sendiri masih rendah, siswa masih berharap bantuan dari temannya.
c. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mengamati keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tindakan yang terjadi pada siklus 1 maka perlu perbaikan diantaranya:
a) Guru belum terbiasa menciptakan suasana pembelajaran Sejarah kebudayaan Islam melalui strategi analisa bermain peran.
b) Demikian juga dengan siswa belum terbiasa dengan kondisi pembelajaran Sejarah kebudayaan Islam melalui strategi analisa bermain peran. Hal ini diperoleh hasil observasi terhadap jumlah siswa yang senang dan semangat dalam pembelajaran Sejarah kebudayaan Islam siklus pertama hanya memperoleh 66 %
c) Untuk memperbaiki kelemahan dan mempertahankan keberhasilan maka guru memberikan motivasi kepada siswa agar lebih aktif lagi dalam pembelajaran.
d) Guru memberi pengakuan atau penghargaan (reward).
e) Kemampuan guru dalam mengorganisasikan siswa masih perlu perbaikan dan hendaknya guru memperhatikan tahap-tahap kegiatan dan alokasi waktu yang telah ditetapkan.



B. Hasil Penelitian Siklus II
a. Paparan data siklus II
Dalam proses pembelajaran siklus pengenalan materi masih dilakukan dengan strategi analisa bermain peran, kemudian dilanjutkan dengan presentasi yang materinya dikembangkan dari LKS dan buku paket SKI. Hasil penelitian menunjukkan :

Siswa yang bekerja sama dengan teman : 20 siswa = 83 %
Siswa yang mengemukakan pendapat : 8 siswa = 33 %
Siswa yang senang dan semangat mengikuti pelajaran : 20 siswa = 83 %

Table II : Penilaian siklus kedua

No Nama siswa Penilaian
Kerjasama Berpendapat Senang dan Semangat
1 Agus Romadhon  ─ 
2 A. Yeyen Efendy  ─ 
3 Fendi Kharisma  ─ 
4 Imam Muslikin ─ ─ ─
5 Imam Rosaadi  ─ 
6 M. Agus Mukarom   
7 Joni Hermawan   
8 M. Miftakhulhadi   
9 M. Jalalludin  ─ 
10 M. Roy Herdianto ─ ─ ─
11 M. Itok Nugroho ─ ─ ─
12 Nasrul Haqi F   
13 Pendi Pradana  ─ 
14 Sigit Purwanto   
15 Afifatun Sholikah ─ ─ ─
16 Devi Ayu Kusuma   
17 Dwi Mita Sari  ─ 
18 Itbag Adelina   
19 Niswatul Umaroh  ─ 
20 Nurul Inan   
21 Siti Maysaaroh  ─ 
22 Siti Samsiyah  ─ 
23 Sri Rahayu  ─ 
24 Titin Sutianingsih  ─ 
Prosentase 83 % 33 % 83 %


c. Pengamatan
Dari hasil observasi tersebut diketahui adanya peningkatan partisipasi belajar Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII MA Al Huda Nganjuk, hal tersebutterlihat dari :
a) Kerjasama dan kegembiraan dalam belajar sudah mulai terbangun
b) Siswa mulai berani mengungkapkan pengetahuan dan pendapatnya serta mulai aktif dalam memberi jawaban dan sudah ada yang berani
c) Pertanyaan siswa sudah terarah pada materi yang dibahas.
d) Jawaban siswa sebagian sudah relevan dengan materi yang dipelajari.
e) Siswa telah dapat menyajikan materi dengan baik yang dikaitkan dengan materi pembelajaran yang berupa peristiwa-peristiwa di masyarakat.

Walaupun demikian masih ditemui hambatan-hambatan pada siklus 2, yaitu:
a) Masih adanya siswa yang kurang berani dan aktif.
b) Masih adanya jawaban siswa yang kurang relevan
c) Motivasi dan minat siswa masih belum semuanya

d. Refleksi
Dengan memperhatikan hasil pengamatan baik terhadap siswa, diperoleh hal-hal sebagai berikut:
a) Siswa sudah mulai mampu berpartisipasi dalam pembelajaran, mampu menjawab, mampu mempresentasikan hasil kerja dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari data observasi terhadap siswa yang mengemukakan pendapatnya dalam belajar sejarah kebudayaan Islam pada siklus pertama dari 16 % menjadi 33 % pada siklus kedua.
b) Sebagaian besar sudah bisa bekerja sama dan bisa mengekpresikan kegembiraan.( 83 % )
c) Tetap meningkatkan pembelajaran dengan menggunakan strategi analisa bermain peran sehingga partisipasi belajar sejarah kebudayaan Islam semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya motivasi dan minat belajar siswa.

C. Hasil Penelitian Siklus III
a) Paparan data siklus III
Dalam proses pembelajaran siklus III ini diperoleh hasil penelitian sebagai berikut :
Siswa yang bekerja sama dengan teman : 23 siswa = 96 %
Siswa yang mengemukakan pendapat : 20 siswa = 83 %
Siswa yang senang dan semangat mengikuti pelajaran : 24 siswa = 100 %
Table III : Penilaian siklus ketiga

No Nama siswa Penilaian

Kerjasama Berpendapat Senang dan Semangat

No Nama siswa Penilaian
Kerjasama Berpendapat Senang dan Semangat
1 Agus Romadhon   
2 A. Yeyen Efendy   
3 Fendi Kharisma   
4 Imam Muslikin ─ ─ 
5 Imam Rosaadi   
6 M. Agus Mukarom   
7 Joni Hermawan   
8 M. Miftakhulhadi   
9 M. Jalalludin   
10 M. Roy Herdianto   
11 M. Itok Nugroho   
12 Nasrul Haqi F   
13 Pendi Pradana  ─ 
14 Sigit Purwanto   
15 Afifatun Sholikah  ─ 
16 Devi Ayu Kusuma   
17 Dwi Mita Sari   
18 Itbag Adelina   
19 Niswatul Umaroh   
20 Nurul Inan   
21 Siti Maysaaroh   
22 Siti Samsiyah   
23 Sri Rahayu   
24 Titin Sutianingsih   
Prosentase 96 % 83 % 100 %



b. Pengamatan
Pada siklus ketiga ini menunjukkan adanya peningkatan yang sangat bagus dari siklus sebelumnya.

c. Refleksi
Keberhasilan yang diperoleh selama siklus III ini adalah sebagai berikut:
a) Siswa mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sudah mengarah ke pembelajaran analisa bermain peran secara lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi siswa yang bekerja sama dengan teman pada siklus II 20 siswa = 83 % meningkat pada siklus III 23 siswa (96 %). Siswa yang mengemukakan pendapat pada siklus II 8 siswa = 33 %, meningkat pada siklus III : 20 siswa (83 %) dan siswa yang senang dan semangat mengikuti pelajaran pada siklus II : 20 siswa = 83 %, meningkat pada siklus III : 24 siswa (100 %).

b) Meningkatnya partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam didukung oleh meningkatnya kegiatan aktivitas guru

dalam mempertahankan dan meningkatkan suasana pembelajaran dengan strategi analisa bermain peran.
c) Penilaian siswa terhadap strategi pembelajaran analisa bermain peran ini sangat positif, mereka menilai sangat menarik dan tidak membosankan.
d) Dari analisis hasil penelitian di atas, maka peneliti merefleksi bahwa strategi analisa bermain peran ini dapat meningkatkan partisipasi belajar siswa.

D. Pembahasan dan Pengambilan Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa dengan menggunakan strategi pembelajaran Analisa Bermain Peran menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel IV : Rekap Penilaian Siklus
No Siklus Penilaian
Kerjasama Berpendapat Senang dan semangat
1 Siklus I 66 % 16 % 66 %
2 Siklus II 83 % 33 % 83 %
3 Siklus III 96 % 83 % 100 %

Grafik I : Grafik Hasil Penelitian




CATATAN:
Siklus pertama diadakan pada tanggal 16 Nopember 2009 dengan pokok bahasan perkembangan Islam periode klasik (Bani Umamayah dan Bani Abbasiyah). Pada siklus ini peneliti mengadakan pre test untuk mengetahui pengetahuan siswa tentang materi sebelumnya dan materi yang akan dipelajari. Pada siklus ini, peneliti mengamati sendiri aktifitas dan partisipasi siswa di kelas
Siklus kedua diadakan pada tanggal 23 Nopember 2009 dengan pokok bahasan mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam pada periode klasik
Sedangkan siklus ketiga dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2009 dengan pokok bahasan mengambil ibrah dari perkembangan Islam periode klasik.

Kesimpulan
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) pada dasarnya merupakan upaya peningkatan kualitas pendidikan khusus dalam proses pembelajaran. Jenis penelitian ini mampu menawarkan pendekatan dan prosedur baru yang lebih menjanjikan dampak langsung dalam bentuk perbaikan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran dikelas, dengan mengkaji berbagai indikator keberhasilan dan kesulitan dalam proses pembelajaran pada guru dan hasil belajar yang terjadi pada siswa. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dalam peningkatan partisipasi belajar Sejarah Kebudayaan Islam melalui strategi pembelajaran analisa bermain peran siswa kelas XII MA Al Huda Nganjuk, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1) Setelah dilakukan pengamatan terhadap kegiatan aktivitas siswa memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan diperoleh rata-rata kadar partisipasi aktif siswa dalam bekerja sama dengan teman kelompok pada siklus I : 66 %, siklus II : 83 % dan pada siklus III : 96%.
2) Meningkatnya partisipasi belajar siswa dalam keberanian siswa menyampaikan pendapat dalam diskusi dapat dilihat dari data observasi terhadap kegiatan pembelajaran yang meningkat dari 16 % pada siklus I, menjadi 33 % pada siklus II dan menjadi 83 % pada siklus III.
3) Melalui strategi pembelajaran analisa bermain peran yang diterapkan pada mata pelajaran SKI dapat meningkatkan semangat dan kesenangan siswa dalam belajar hal itu dapat dilihat dari hasil observasi pada siklus III yaitu mencapai 100% untuk ranah semangat dan kesenangan dalam belajar.